ROP : Return On People
Sumber:
Kompas , Sabtu 16 November 2013 dan
http://humanresources.about.com/od/humanresourcesstrategic/qt/Create-Value-With-Human-Resource-Measures.htm.
Jual - Beli pemain di dunia sepak bola adalah dinamika yang sangat menarik untuk kita perhatikan.
Pemain dan Pelatih sebagai "mesin uang" bagi clubnya. Organisasi tidak hanya berani membayar mahal pemain inti saja juga pemain cadangan pun dipastikan merupakan pemain jagoan. Bahkan pemain yang jelas-jelas kalah di klubnya masih diperebutkan jika dirasa kompetensi dan talentanya bisa diasah dan digarap.
SEBAGAIMANA ungkapan yang didengung-dengungkan : "employees are our most importent asset" bahwa people adalah sumber daya utama untuk menciptakan keunggulan kompetitif jangka panjang. Kegagalan mengembangkan potensi - kompetensi serta memelihara kekuatan manusia diperusahaan adalah situasi bunuh diri perusahaan.
Belajar dari dunia sepak bola diatas kita perlu berpikir dan berhitung yang jelas, berapa banyak karyawan di tim perusahaan kita yang betul betul berharga sebagai pemain?. Tahun 1990-an Perusahaan yang bisa bertahan dan bahkan menjadi raksasa dengan hanya segelintir orang di posisi puncak yang menjadi pemikir, selebihnya karyawan lain hanya diharapkan bekerja dengan rajin sesuai dengan keahlian masing-masing, tidak banyak mengeluarkan "inisiatif".
Mungkinkah sebuah organisasi akan sukses dalam mencapai "Visi-Misi dan target organisasinya" bila hanya mengandalkan segelintir orang untuk menggerakkan produktivitas?.
Ketidaksadaran kita dan Keefektifan sumber daya manusia ini bisa dimengerti, bila kita keliru atau mengabaikan pengukuran "Return on People". Bila kita menanyakan kepada ahli manajemen sumber daya manusia mengenai ukuran kesuksesan pengelolaan sumber daya manusia, kerap kita mendapat jawabannya adalah angka turn over, rata-rata waktu rekrutmen, jam pelatihan, juga kelancaran career path. Indikator ini memang terukur dan tagible. Namun, sebarapa jauh angka angka ini bisa mengambarkan kualitas, kontribusi, dan produktivitas dalam pekerjaan?. Kita bisa segera melihat
betapa ukuran kesuksesan di departemen pengembangan sumber daya manusia ini tidak menjamin berkembangnya kemampuan "pemain" nya. Dimasa sekarang, kita jelas perlu memahami indikator yang menggambarkan kondisi happiness, ambisi, inisiatif, dan inovasi orang karena kita tahu betul hal-hal inilah yang menentukan individu dan organisasi bisa berprestasi "lebih" dan "pemenang".
Jual - Beli pemain di dunia sepak bola adalah dinamika yang sangat menarik untuk kita perhatikan.
Pemain dan Pelatih sebagai "mesin uang" bagi clubnya. Organisasi tidak hanya berani membayar mahal pemain inti saja juga pemain cadangan pun dipastikan merupakan pemain jagoan. Bahkan pemain yang jelas-jelas kalah di klubnya masih diperebutkan jika dirasa kompetensi dan talentanya bisa diasah dan digarap.
SEBAGAIMANA ungkapan yang didengung-dengungkan : "employees are our most importent asset" bahwa people adalah sumber daya utama untuk menciptakan keunggulan kompetitif jangka panjang. Kegagalan mengembangkan potensi - kompetensi serta memelihara kekuatan manusia diperusahaan adalah situasi bunuh diri perusahaan.
Belajar dari dunia sepak bola diatas kita perlu berpikir dan berhitung yang jelas, berapa banyak karyawan di tim perusahaan kita yang betul betul berharga sebagai pemain?. Tahun 1990-an Perusahaan yang bisa bertahan dan bahkan menjadi raksasa dengan hanya segelintir orang di posisi puncak yang menjadi pemikir, selebihnya karyawan lain hanya diharapkan bekerja dengan rajin sesuai dengan keahlian masing-masing, tidak banyak mengeluarkan "inisiatif".
Mungkinkah sebuah organisasi akan sukses dalam mencapai "Visi-Misi dan target organisasinya" bila hanya mengandalkan segelintir orang untuk menggerakkan produktivitas?.
Ketidaksadaran kita dan Keefektifan sumber daya manusia ini bisa dimengerti, bila kita keliru atau mengabaikan pengukuran "Return on People". Bila kita menanyakan kepada ahli manajemen sumber daya manusia mengenai ukuran kesuksesan pengelolaan sumber daya manusia, kerap kita mendapat jawabannya adalah angka turn over, rata-rata waktu rekrutmen, jam pelatihan, juga kelancaran career path. Indikator ini memang terukur dan tagible. Namun, sebarapa jauh angka angka ini bisa mengambarkan kualitas, kontribusi, dan produktivitas dalam pekerjaan?. Kita bisa segera melihat
betapa ukuran kesuksesan di departemen pengembangan sumber daya manusia ini tidak menjamin berkembangnya kemampuan "pemain" nya. Dimasa sekarang, kita jelas perlu memahami indikator yang menggambarkan kondisi happiness, ambisi, inisiatif, dan inovasi orang karena kita tahu betul hal-hal inilah yang menentukan individu dan organisasi bisa berprestasi "lebih" dan "pemenang".
PELATIH.
Di klub sepak bola, peran pelatih sebagai pembuat strategi dan pengatur pergerakan jelas sangat vital. Dalam organisasi, masing-masing leader dalam organisasinya jelas perlu sadar perannya sebagai coach yang berperan melatih, mengaduk, mengatur, menggarap, mengembangkan kinerja anak buahnya dan mengkombinasikan dengan kinerja orang lain. Bila kita benar mau menjadikan human capital sebagai suatu kekuatan, paling tidak kita bisa mengukur efektifitas kepemimpinan, selain engagement karyawan, dan pemahaman para karyawan tentang arah pengembangan perusahaan. Banyak karyawan pintar yang direkrut bisa jadi tidak perform dengan baik karena tidak ada yang memahami arah, strategi perbaikan dan tidak berlatih untuk senantiasa memperkuat kompetensi untuk berkontribusi didalam timnya. Banyak Organisasi gagal karena agenda pembenahan tidak mendapat dukungan dari seluruh jajaran. Disuatu perusahaan, pucuk pimpinannya sudah membuat pola transformasi bisnis dengan rapih tetapi hal ini tidak diterangkan jelas-jelas ke anak buahnya. Padahal, di perusahaan dimana knowledge accessibility diupayakan, orang didalamnya akan cepat belajar dan tahu kemana mengerakkan keahlian maupun kinerjanya. " The Information you develop, the faster things can change." Kita perlu selalu ingat bawha pembenahan suatu organisasi akan mendapat dukungan penuh, bila manusianya diajak bicara dan didengarkan. Kita tidak bisa mengandalkan kemampuan alami dari seseorang. Bahwa perlu diperhatikan setiap leader perlu memperhatikan dan mengenali kekuatan-kelemahan dan gaya kerja setiap bawahannya.Terkadang semua yang dipunyai baik, tetapi ia keras kepala. Kita harus siap mengarap karakternya pula. Kita perlu mengenal anak buah dengan sangat mendalam sehingga kita bisa membantunya untuk berproduksi. Kita pun perlu mengajak karyawan untuk berfikir sebagai satu kesatuan, tetapi sebaliknya setiap orang tetap perlu "merasa" berkontribusi, karyawan yang penuh. Disamping itu, karyawan hanya bisa "hidup" dan berkembang bila ia didengar. Dalam banyak sekali organisasi, karyawan tidak berani bicara dan bertanya. Suasana tidak kondusif untuk berdiskusi. Mana mungkin seseorang diharapkan berinisiatif bila suasana tidak memungkinkan bagi dia untuk "mengembangkan" idenya. Ide yang tidak dikembangkan akan mentah dan tidak akan berbentuk inisiatif, apalagi bila fear factor masih bekerja.
EGO YANG SEHAT.
Kita tidak bisa lagi melihat manusia senagai pekerja yang memang sudah kita bayar untuk bekerja. Saat sekarang kita perlu menyadari bahwa setiap manusia perlu mempunyai ego yang sehat. Hanya ego yang sehatlah bisa berfikir keras dan bekerja ekstra keras. Seorang pemimpin perusahaan yang memperbaiki letak name tag anak buahnya, menyadarkan anak buahnya tentang pentingnya keselamatan kerja, dan membuat anak buahnya bangga bekerja di instansinya, secara tidak langsung memupuk ego anak buahnya. Tentunya kita perlu meninggikan standart of competence dan kekuatan pengetahuan tentang pekerjaan yang harus dikuasai anak buah. Hal ini tentunya tidak akan menyerang egonya, tetapi justru membuat ia tertantang dan melihat ruang untuk mengembangkan diri.Kita tidak bisa lagi melihat manusia dalam organisasi sebagai "boneka" dan membentuk penurut-penurut. Kita perlu individu-individu yang pada waktunya mampu siap merespons kesulitan dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berat dan sulit. Disinilah tantangannya bertanyalah pada diri kita apakah organisasi sudah meminta individu untuk berproduksi, tetapi juga melatih diri untuk menghadapi keadaan yang lebih menantang dan sulit lagi? apapun tugasnya, serendah apapun di organisasi, kita perlu memperhitungkan bagaimana individu meerasa bahwa ia adalah superstar yang siap bertarung.
Di klub sepak bola, peran pelatih sebagai pembuat strategi dan pengatur pergerakan jelas sangat vital. Dalam organisasi, masing-masing leader dalam organisasinya jelas perlu sadar perannya sebagai coach yang berperan melatih, mengaduk, mengatur, menggarap, mengembangkan kinerja anak buahnya dan mengkombinasikan dengan kinerja orang lain. Bila kita benar mau menjadikan human capital sebagai suatu kekuatan, paling tidak kita bisa mengukur efektifitas kepemimpinan, selain engagement karyawan, dan pemahaman para karyawan tentang arah pengembangan perusahaan. Banyak karyawan pintar yang direkrut bisa jadi tidak perform dengan baik karena tidak ada yang memahami arah, strategi perbaikan dan tidak berlatih untuk senantiasa memperkuat kompetensi untuk berkontribusi didalam timnya. Banyak Organisasi gagal karena agenda pembenahan tidak mendapat dukungan dari seluruh jajaran. Disuatu perusahaan, pucuk pimpinannya sudah membuat pola transformasi bisnis dengan rapih tetapi hal ini tidak diterangkan jelas-jelas ke anak buahnya. Padahal, di perusahaan dimana knowledge accessibility diupayakan, orang didalamnya akan cepat belajar dan tahu kemana mengerakkan keahlian maupun kinerjanya. " The Information you develop, the faster things can change." Kita perlu selalu ingat bawha pembenahan suatu organisasi akan mendapat dukungan penuh, bila manusianya diajak bicara dan didengarkan. Kita tidak bisa mengandalkan kemampuan alami dari seseorang. Bahwa perlu diperhatikan setiap leader perlu memperhatikan dan mengenali kekuatan-kelemahan dan gaya kerja setiap bawahannya.Terkadang semua yang dipunyai baik, tetapi ia keras kepala. Kita harus siap mengarap karakternya pula. Kita perlu mengenal anak buah dengan sangat mendalam sehingga kita bisa membantunya untuk berproduksi. Kita pun perlu mengajak karyawan untuk berfikir sebagai satu kesatuan, tetapi sebaliknya setiap orang tetap perlu "merasa" berkontribusi, karyawan yang penuh. Disamping itu, karyawan hanya bisa "hidup" dan berkembang bila ia didengar. Dalam banyak sekali organisasi, karyawan tidak berani bicara dan bertanya. Suasana tidak kondusif untuk berdiskusi. Mana mungkin seseorang diharapkan berinisiatif bila suasana tidak memungkinkan bagi dia untuk "mengembangkan" idenya. Ide yang tidak dikembangkan akan mentah dan tidak akan berbentuk inisiatif, apalagi bila fear factor masih bekerja.
EGO YANG SEHAT.
Kita tidak bisa lagi melihat manusia senagai pekerja yang memang sudah kita bayar untuk bekerja. Saat sekarang kita perlu menyadari bahwa setiap manusia perlu mempunyai ego yang sehat. Hanya ego yang sehatlah bisa berfikir keras dan bekerja ekstra keras. Seorang pemimpin perusahaan yang memperbaiki letak name tag anak buahnya, menyadarkan anak buahnya tentang pentingnya keselamatan kerja, dan membuat anak buahnya bangga bekerja di instansinya, secara tidak langsung memupuk ego anak buahnya. Tentunya kita perlu meninggikan standart of competence dan kekuatan pengetahuan tentang pekerjaan yang harus dikuasai anak buah. Hal ini tentunya tidak akan menyerang egonya, tetapi justru membuat ia tertantang dan melihat ruang untuk mengembangkan diri.Kita tidak bisa lagi melihat manusia dalam organisasi sebagai "boneka" dan membentuk penurut-penurut. Kita perlu individu-individu yang pada waktunya mampu siap merespons kesulitan dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berat dan sulit. Disinilah tantangannya bertanyalah pada diri kita apakah organisasi sudah meminta individu untuk berproduksi, tetapi juga melatih diri untuk menghadapi keadaan yang lebih menantang dan sulit lagi? apapun tugasnya, serendah apapun di organisasi, kita perlu memperhitungkan bagaimana individu meerasa bahwa ia adalah superstar yang siap bertarung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar